Senin, 23 Januari 2012
0
Kisah Sepuluh Pengajar yang Diutus Rasulullah
Pada suatu ketika Rasulullah SAW mengutus sepuluh orang utusan yang dipimpin oleh `Ashim bin Tsabit Al Anshari kakek dari `Ashim bin `Umar bin Al Khaththab untuk mengajarkan agama Islam atas dasar permintaan sebahagian orang Madinah. Kemudian mereka berangkat bersama rombongan yang memintanya. Akan tetapi setibanya di sebuah pangkalan air yang terletak di antara kota Asfan dan Mekah milik Hudzail mereka dikhianati oleh rombongan yang menyertainya. Rombongan tersebut ternyata telah bekerja sama dengan Hudzail pemimpin suatu kaum yang dikenal dengan sebutan Banu Al Hayan. Tidak kurang dari seratus orang pemanah yang mengawal mereka.
Pada awalnya mereka dibawa ke perkampungannya, bahkan mereka sempat mencicipi kurma yang disediakan olehnya ketika mereka menginap di rumahnya. Keesokan harinya Hudzail dan kaumnya mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan dikawal untuk pergi bersama-sama menuju Yatsrib (Madinah). Akan tetapi `Ashim dan para sahabatnya mulai curiga setelah mereka digiring ke sebuah lapangan, dimana mereka dikelilingi oleh suatu kaum yang cukup banyak.
Kecurigaannya semakin jelas setelah kaum Hudzail berkata kepada mereka, "Demi Allah, kami sebenarnya tidak ingin membunuh kalian. Akan tetapi dengan menahan kalian ini, kami hanya ingin mendapatkan keuntungan yang dijanjikan oleh kaum musyrikin Mekah. Kami bersumpah bahwa kami tidak akan membunuh seorangpun di antara kalian ini, seandainya kalian memenuhi permintaan kami."
Mendengar perkataan mereka seperti itu, maka `Ashim bin Tsabit sebagai pemimpin utusan kaum muslimin menjawab, "Demi Allah, aku tidak akan menyerah dan tunduk kepada perintah orang kafir. Ya Allah, kabarkanlah keadaan kami kepada Nabi-Mu."
Mendengar jawaban `Ashim seperti itu, maka Hudzail marah, sehingga dia memerintahkan pasukan pemanahnya untuk menyerang mereka. Akhirnya tujuh orang dari sepuluh orang utusan yang dikirim oleh Rasulullah itu terbunuh, dan `Ashim merupakan orang yang ketujuhnya. Sedangkan yang tiga orang lagi keadaannya semakin terdesak, karena mereka harus berhadapan dengan orang yang lebih banyak, sehingga akhirnya mereka ditangkap dan dibawa sebagai tawanan. Akan tetapi pada akhirnya yang tersisa hanya tinggal Khubaib Al Anshari dan Zaid bin Ad-Datsinah, dikarenakan utusan yang satu lagi menolak untuk dikirim kembali ke Mekah, seraya dia berkata, "Demi Allah, aku tidak sudi bekerja sama dan bersahabat dengan kalian." Karena penolakannya itu, maka akhirnya dia dibunuh. Kemudian mereka Membawa Khubaib dan Zaid ke Mekah, dan mereka menjual keduanya. Penjualan itu dilakukan jauh Setelah perang Badar berakhir.
Akhirnya Khubaib dibeli oleh Keturunan Al Harits bin `Amir bin Naufal bin `Abdi Manaf. Hal ini tidak lepas dari dendam pada masa lalu, dimana Khubaib adalah orang yang telah membunuh Al Harits bin `Amir pada waktu perang Badar. Khubaib tinggal di keluarga itu selama satu bulan sampai akhirnya keluarga Al Harits tiba pada keputusan untuk membunuhnya. Sebagian puteri-puteri Harits menyuruh memanggil Musa untuk memastikan identitas Khubaib, dimana dia mengetahui ciri atau tanda yang ada pada Khubaib yang telah membunuh Al Harits.
Ketika Musa menunjukkan tanda yang ada pada pipi Khubaib, mereka merasa kaget bahwa ternyata Khubaib yang ada di hadapannya benar-benar Khubaib yang telah membunuh ayahnya. Salah seorang di mereka sempat berujar, "Aku tidak pernah melihat seorang tawanan lebih baik dari Khubaib. Demi Allah, pada suatu hari aku melihat membawa anggur, dimana ketika itu di Mekah sangat sulit sekali mencari buah-buahan, dan aku sangat ingin sekali dengan anggur itu. Dan ketika aku memintanya, Khubaib memberikannya kepadaku."
Setelah itu Khubaib dibawa pergi dari tanah haram (Mekah) menuju suatu tempat untuk dibunuh. Ketika itu dia mengajukan suatu permintaan kepada mereka, seraya berkata, "Dapatkah kalian membiarkan aku untuk sekedar melakukan shalat dua raka'at?." Kemudian mereka membiarkannya, dan setelah selesai, dia berkata kepada mereka, "Demi Allah, seandainya kalian tidak menyangka bahwa aku takut dengan kematian, niscaya aku akan menambah lagi sembahyangku." Kemudian dia berdoa, "Ya Allah hitunglah jumlah mereka, dan binasakanlah mereka dalam keadaan bercerai-berai, serta janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara mereka itu."
Dalam suatu riwayat dikatakan, Kemudian Khubaib melakukan ruku' (shalat) dengan sempurna dan khusyu', dan setelah selesai, dia langsung mendatangi kaum itu, seraya dia berkata, "Demi Allah, seandainya kalian tidak menyangkaku sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya aku akan sembahyang lebih banyak lagi." Setelah itu dia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu. Dia menatap kepada mereka dengan tatapan mata yang sayu, seraya dia berdoa, "Ya Allah, kami telah menyampaikan ajaran Rasul-Mu, maka sampaikanlah kepadanya hari esok bahwa aku telah melakukan apa yang telah diperintahkannya kepada kami."
Ketika kaum itu sepakat untuk membunuhnya dengan cara disalib, maka dia melantunkan sya'irnya,
Suatu kaum telah berkumpul di sekelilingku,
Dan kabilah-kabilah menyambutnya.
Semuanya memperlihatkan permusuhan kepadaku, Karena diriku sedang terikat pada kayu.
Mereka bersama anak-anak, dan istri-istri,
Bencana yang menyakitkan telah mendekatiku.
Hanya kepada Allah aku mengadukan kesedihanku setelah kepergianku,
Dan kaum itu tidak akan berkumpul lagi setelah pemenggalan diriku.
Kesabaranku telah melahirkan keteguhan hatiku,
Mereka mengiris dagingku dan memotong-motong ususku.
Mereka memintaku untuk memilih kekufuran sehingga terhindar dari kematian,
Kedua mataku mencucurkan air mata, tetapi bukan karena kesedihan dan kegundahan hati.
Sedikitpun aku tidak takut dengan kematian, karena akupun akan mati,
Tetapi ketakutanku itu karena api yang menyala-nyala.
Aku tidak peduli seandainya aku mati sebagai seorang muslim,
Di tempat yang mana saja Allah akan membaringkanku.
Karena hal itu merupakan kehendak Ilahi, dan jika Dia berkehendak,
Dia berkuasa untuk menyambungkan kembali anggota tubuh yang telah terpisah.
Dan kabilah-kabilah menyambutnya.
Semuanya memperlihatkan permusuhan kepadaku, Karena diriku sedang terikat pada kayu.
Mereka bersama anak-anak, dan istri-istri,
Bencana yang menyakitkan telah mendekatiku.
Hanya kepada Allah aku mengadukan kesedihanku setelah kepergianku,
Dan kaum itu tidak akan berkumpul lagi setelah pemenggalan diriku.
Kesabaranku telah melahirkan keteguhan hatiku,
Mereka mengiris dagingku dan memotong-motong ususku.
Mereka memintaku untuk memilih kekufuran sehingga terhindar dari kematian,
Kedua mataku mencucurkan air mata, tetapi bukan karena kesedihan dan kegundahan hati.
Sedikitpun aku tidak takut dengan kematian, karena akupun akan mati,
Tetapi ketakutanku itu karena api yang menyala-nyala.
Aku tidak peduli seandainya aku mati sebagai seorang muslim,
Di tempat yang mana saja Allah akan membaringkanku.
Karena hal itu merupakan kehendak Ilahi, dan jika Dia berkehendak,
Dia berkuasa untuk menyambungkan kembali anggota tubuh yang telah terpisah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Kisah Sepuluh Pengajar yang Diutus Rasulullah”
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar dengan kata-kata yang sopan. Terimakasih.